Selasa, 01 Mei 2012

mengawini wanita hamil


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Di dalam kehidupan sehari- hari kita sering dan bahkan udah lumrah dalam masyarakat mengenai problem mengawini wanita hamil. Yang mana perbuatan tersebut termasuk prilaku tercela yang melakukan zina. Sehingga akibat dari perbuatan tersebut, perempuan hamil di luar nikah. Dari hal ini, terkadang orang tua langsung menikahkan anaknya, untuk menghindari malu. Padalah kalau kita larikan ke sudut pandang agama islam. Hal tseperti itu termasuk tindakan yang salah. Karena nanti menimbulkan permasalahan baru, kalau anak mereka lahir. Maka anak tersebut tidak memiliki nasab bapaknya.
Oleh kerena faktor terssebut, maka pemakalah akan membahas hukum dari mengawini wanita hamil, dan bagaimana status anak di luar nikah.
B.   Rumusan masalah
1.  Bagaimana hukum mengawini wanita hamil?
2.  Bagaimana status anak hamil diluar nikah?
C.   Tujuan
1.  Untuk menambah wawasan kita sebagai seorang muslim, agar mengetahui hukum dari permasalahan yang ada di masyarakat.
2.  Untuk memenuhitugas yang diberikan oleh dosen pengampu.

BAB I
MENGAWINI WANITA HAMIL
A.       Hukum menikahi dan menikahkan wanita hamil
Menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan, yiatu:
1.      Wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya.
2.      Wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena berhubungan badan dengna orang lain.
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau berzina dengan orang lain. Maka hukum menikahinya ada tiga pendapat, yiatu:
1.    Haram dinikahi
Ini menurut pendapat mazhab Maliki, abu yusuf dan zahar dari mazhab hanafi, dan termasuk ibn taimiyah dan muridnya, serta ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah.
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).

Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Mengenai keharaman (menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas oleh para fuqaha’, baik dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain. Dalam hal ini, terdapat riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para fuqaha’ memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat an-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).”

Kedua: Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim).

Ketiga: riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan bahwa:pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi saw. Baginda pun menceraikan keduanya.” 
Keempat: sabda Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam tanaman (air mani) orang lain (HR Abu Dawud).
Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud ra. yang menyatakan, “Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.” 
2.    Boleh menikahi tampa syarat
Ini merupakan pendapat Abu hanifah dan muhammad dari mazhab hanafi, dan mazhab syafii.
Pertama: firman Allah SWT

24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS an-Nisa’ [4]: 24).

[282] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[283] Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
[284] Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina (QS an-Nisa’ [4]: 24).

Kedua: Hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ
Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.

Ketiga: Ijmak Sahabat. Telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir ra., bahwa Abu Bakar berkata, “Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”
3.    Boleh menikahi dengan syarat
Menurut mazhab Hambali.
Pertama: firman Allah SWT:
3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[1028]. (QS an-Nur [24]: 3).

[1028] Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.

Alasannya, keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun setelah bertobat larangan tersebut hilang. Sebabnya, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه
Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni)

Artinya, seorang wanita yang berzina itu tidak boleh bagi orang lain yaitu bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan bahwa seorang laki-laki yang berzina itu tidak boleh bagi seseorang untuk menikahkan anak perempuannya dengannya.
Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yang keji ini kondisi/ keadaanya tidak terlepas dari keadaan orang yang mengetahui haramnya perbuatan tersebut, namun ia tetap menikahi wanita itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat seperti itu, laki-laki yang menikahi wanita yang berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina sebab ia telah melakukan akad yang diharamkan yang ia meyakini keharamannya.
Dari penjelasan ini jelaslah bagi kita tentang hukum haramnya menikahi wanita yang berzina dan tentang haramnya menikahkan laki-laki yang berzina.
Jadi, hukum asal dalam menikahi seorang wanita yang berzina itu adalah tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina pula. Iya, ada diantara para ulama yang memfatwakan, apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yang keji ini dan ia bertobat atas perbuatan keji yang telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan yang shalih.
Dan apabila laki- laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk membiarkan wanita itu selama satu masa haid yaitu 1 bulan. Sebelum ia menikahi atau melakukan akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian wanita itu ternyata hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah wanita tersebut melahirkan anaknya.[1]
Kedua: Hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim).

Dari ketiga pendapat diatas, menurut kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hambali, yang menyatakan. Bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan syarat:
a.       Kehamilannya telah berakhir atau habis masa iddahnya
b.      Bertobat dengan tobatan nashuha.
Sebab, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi:Pertama, nasab. Orang yang menikahi wanita, kemudian dari wanita itu lahir anak, maka pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan nasabnya. Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik terhadap harta maupun dirinya. Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status hukum waris menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya rahim wanita) setelah masa ‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di dalamnya tidak akan diketahui. WalLahu a’lam.[2]
Jadi dapat disimpulkan, sah pernikahan dengan syarat si pasangan bertawbat nashuha. Dan jika wanita itu menikah dengan pasangan yang bukan pemilik benih kandungan, wajib ia menugu sampai masa iddahnya selesai.
B.       Status Anak luar nikah
Dikatakan anak luar nikah, walaupun mereka berdua sudah nikah, tetapi persetubuhan yang menyebabkan kandungan itu berlaku sebelum akad pernikahan mereka. Jadi ia bukan anak hasil dari pernikahan, tetapi hasil dari zina. Anak zina tidak harus di binkan kepada bapaknya, karena ikatan nasab mereka berdua tidak diiktiraf oleh syarak. Ia hendaklah di binkan kepada ibunya atau dibinkan kepada Abdullah (hamba Allah).
Di dalam hadis, Rasulullah s.a.w. bersabda; “Anak adalah bagi (pemilik) hamparan. Bagi penzina pula ialah al- Hajr” (HR Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a).
Maksud hamparan di dalam hadis di atas ialah istri dan pemilik hamparan ialah suami. Di dalam hadis di atas Rasulullah s.a.w. telah menetapkan satu arahan agama yaitu: anak hanya boleh dinasabkan kepada lelaki yang memiliki ikatan perkawanin yang sah dengan ibu yang mellahirkan anak itu. Berkata ulama: apabila seorang wanita sebagai isteri atau hambanya (dimana mereka ibarat hamparan untuknya), apabila isteri/ hamba itu melahirkan anak dalam tempoh yang tidak mustahil bagi kelahiran itu, maka anak itu akan dinasabkan kepadanya dan akan berlaku antara dia dan anak itu perwarisan dan hukum- hukum lain yang berkaitan dengan kelahirannya.
Adapun penzina pula, Rasulullah berkata “baginya al-Hajr”. Yang mana Al- Hajr ada dua tafsiran dari ulama:
1.    Ia bermakna batu: yakni penzina hukumannya di rajam pakai batu.
2.    Bermakna khaibah yang bermakna kecewa atau putus asa. Penzina baginya kekecewaan dan putus asa karena tidak ada hak baginya terhadap anak yang lahir, sekalipun anak itu dari benihnya.[3]



BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
1.    Sah pernikahan dengan syarat pasangan pernikahan tersebut telah melakukan tobat nashuha. Dan kalau yang menikahi wanita tersebut bukan sipemilik benih, maka wajib baginya menuggu masa iddah wanita tersebut.
2.    Status anak diluar nikah, nasabnya tidak ada dari bapaknya. Melinkan di binkan kepada ibunya.
B.       Saran
1.    Seharusnya dalam membuat suatu karya ilmiah atau makalah, hendaknya hasilnya bisa maksimal. Tetapi kenyatannya pada makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, hal itu bukan Karena unsur kesengajaan, melainkan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh sipenyaji.
2.     Supaya penyajian makalah ini bisa maksimal, pemakalah sangat membutuhkan kritik dan saran dari pembaca maupun dosen pengampu.
3.     Agar dalam perbaikan makalah selanjutnya, dapat mencapai suatu kesempurnaan.




DAFTAR PUSTAKA
http:// ilmu dan ulamak.blogspot.com/ 31 Agustus 2009/ status anak luar nikah
http:// www. Syaikh Khalid Ar- Raddali. Com/ selasa, 10 Januari 2006/ hukuum menikahi wanita hamil karena berzina.
http:// www. Farid Ma’ruf. Com// 4 Februari 2012/ menikahi wanita hamil





                                                                                                                           































[1] http:// www. Syaikh Khalid Ar- Raddali. Com/ selasa, 10 Januari 2006/ hukuum menikahi wanita hamil karena berzina.
[2] http:// www. Farid Ma’ruf. Com// 4 Februari 2012/ menikahi wanita hamil
[3] http:// ilmu dan ulamak.blogspot.com/ 31 Agustus 2009/ status anak luar nikah

1 komentar: